Dasima adalah seorang gadis kembang desa yang berasal dari sebuah dusun di Buitenzorg (nama Bogor tempo dulu). Kisah hidupnya yang tragis menjadi inspirasi seorang penulis Belanda, Gijsbert Francis untuk menuliskan kisahnya dalam sebuah buku berjudul “Tjerita Njai Dasima“.

Dalam buku yang diterbitkan di Batavia (Jakarta) tahun 1896, Gijsbert mengungkapkan bahwa Nyai Dasima adalah gadis dusun Kuripan yang dijadikan gundik oleh seorang pria Inggris bernama Edward William.

Edward bukanlah orang sembarangan karena ia menjadi orang kepercayaan pemimpin tertinggi di Hindia Belanda saat dikuasai oleh Inggris yaitu Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles yang menjabat dari tahun 1811 s/d 1816.

Setelah dijadikan gundik pria Inggris itu, Njai Dasima pindah ke Batavia dan dari kota yang kini bernama Jakarta, Nyai Dasima mulai dikenal oleh banyak orang. Salah satunya adalah Samiun, seorang tukang sado yang menyimpan ketertarikan kepada Nyai Dasima.

Berbagai cara ia lakukan untuk dapat mengambil hati Nyai Dasima, termasuk meminta bantuan dukun yang bernama Mak Buyung agar Nyai Dasima tergila-gila kepadanya.

Singkat cerita, Nyai Dasima akhirnya menjadi istri Samiun, yang sebenarnya sudah memiliki istri. Kisah ini pun berakhir dengan tragis, karena ia kemudian disia-siakan Samiun lalu dibunuh dan mayatnya dibuang ke Kali Ciliwung.

Tjerita Njai Dasima dilatarbelakangi oleh suasana Hindia Belanda pada tahun 1813. Bukunya diterbitkan oleh Kho Tjeng Bie & Co di Batavia pada 1896.

Buku itu mengisahkan kehidupan Nyai Dasima dan Edward W (tuan W)  di sebuah wilayah di Curuk, Tangerang. Kehidupan mereka kemudian berlanjut hingga ke Batavia, tempat Edward bekerja di sebuah Toko Inggris.

Di Batavia mereka menempati sebuah rumah di daerah Gambir dan berada dekat dengan Sungai Ciliwung. Mereka dikarunai seorang anak gadis yang masih kecil yang bernama Nancy.

Selama bersama Edward, kehidupan Nyai Dasima selalu tercukupi. Penampilannya pun mulai berubah, dan bukan menampakkan sosok gadis dusun lagi. Ia selalu membuat warga pribumi terpesona melihatnya, terlebih saat mengenakan perhiasan dan kemewahan yang dimiliknya.

Dalam kurun waktu dua tahun, nama Nyai Dasima sudah terkenal di setiap kampung pribumi di Batavia. Ia dikenal sebagai perempuan pribumi beragama Islam yang kaya raya namn menjadi “bini piare” pria kulit putih Nasrani.

Kepopuleran Nyai Dasima sampai juga ke telinga seorang pria beristri yang tinggal di Pejambon yang bernama Samiun. Istrinya bernama Hayati, dan Samiun sendiri bekerja seabgai tukang tadah barang curian.

Setiap melihat Nyai Dasima, hati Samiun selalu deg-degan seolah ingin mengungkapkan perasaan sukanya seketika itu juga. Ia pun meminta bantuan seorang perempuan tua bernama Mak Buyung agar mau menasihati Nyai Dasima supaya meninggalkan Edward karena dalam agama Islam, kumpul kebo itu dilarang oleh agama.

Pergilah Mak Buyung dari Pejambon ke Gambir dengan membawa misi untuk menghasut Nyai Dasima agar mau meninggalkan tuan W yang disebutnya sebagai kafir itu. Dengan modus melamar kerja sebagai pembantu, Mak Buyung mulai diterima di rumah itu.

Dengan kata-kata lembutnya, Mak Buyung berusaha membujuk agar Nyai Dasima mau meninggalkan kehidupannya yang glamor sebagai Nyai, apalagi sebagai istri yang tidak sah secara agama maupun secara negara. Hubungan kumpul kebo sama saja dengan zina dalam agama Islam, sehingga Mak Buyung menyarankan agar Nyai Dasima memperdalam agama Islam.

Atas bujukan yang terus menerus itu, Nyai Dasima pun keluar dari rumah gedongan milik tuan Edward, ia meninggalkan anak kandungnya dan kehidupan mewahnya. Nyai Dasima pun pergi ke rumah Samiun, dan menikah dengannya sebagai istri kedua.

Namun ternyata Samiun hanya menginginkan tubuhnya saja, setelah menikah kehidupan Nyai Dasima berubah 180 derajat. Ia mulai diperlakukan seperti seorang pembantu bahkan oleh Hayati, istri pertama Samiun. Tidak hanya itu saja, ibunya Hayati yang bernama Saleha pun memperlakukan Nyai Dasima seperti seorang budak.

Dasima mulai kesal dan menyampaikan keluh kesahnya kepada Samiun. Ia mengutarakan niatnya untuk cerai dan pulang ke rumahnya ke Bogor di dusun Kuripan. Akan tetapi, Samiun tidak mau menceraikannya dan dalam kondisi emosi, Samiun berujar kalau dia bersedia cerai dengan Dasima asal ia mau menyerahkan semua hartanya.

Nyai Dasima kaget setelah mengetahui tujuan suaminya selama ini adalah ingin menguasai harta bendanya. Ia pun ingin melaporkan masalah ini kepada aparat yang dekat dengan Tuan Edward.

Samiun yang merasa teranam karena takut dilaporkan, berencana untuk membunuh Nyai Dasima. Ia pun meminta bantuan seorang preman Kwitang yang bernama Poeasa (Puasa/Puase) dan menjanjikan upah 100 pasmat untuk menghabisi Dasima.

Skenario pun dilancarkan, Nyai Dasima diajak keluar rumah pada suatu malam untuk mendengarkah hikayat Amir Hamzah di Kampung Ketapang. Dengan diterangi cahaya obor yang dibawa pembantu bernama Kuntum, Dasima berjalan diikuti oleh Samiun dan Puasa di posisi paling belakang.

Sesampainya di sebuah tempat sepi di belakang rumah Mak Musanip di pinggir Sungai Ciliwung, Kepala Dasima dipukul oleh Puasa. Lehernya digorok, lalu mayatnya dibuang ke kali.

Mayat Dasima ditemukan oleh pembantu Tuan Edward saat akan memandikan Nanci. Pembantu itu pun melaporkan penemuannya itu kepada Tuan Edward, yang segera melapor ke polisi.

 

SebelumnyaTerlindungi: Kampung Baru cikal bakal BOGOR
BerikutnyaTerlindungi: Kisah kesaktian dan jimat Jenderal Soedirman

Tinggalkan Balasan